Motivasi

Kamis, 02 Juni 2011

Jangan Menikah Sebelum Kaya

Oleh: Oji Faoji (Kamis dini hari)

Menikah, tidak hanya terjadi karena dorongan fitrah, tetapi bagi ummat beragama juga merupakan suatu aktivitas yang diperintahkan, sehingga disebut ibadah.

Dari sisi bahasa, menikah adalah dipersatukannya dua manusia, yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan melalui ikatan resmi, bahkan sakral.

Dengan menikah, maka wanita yang kemudian disebut istri, dan pria sebagai suami, dibolehkan (dihalalkan) melakukan hubungan badan hingga memiliki keturunan. Keturunan-keturunan tersebut diharapkan bisa melanjutkan estafeta kehidupan ke arah yang lebih baik.

Agama mengajarkan bahwa sebelum pernikahan terjadi, laki-laki dan wanita tidak dibenarkan berhubungan badan. Jika itu terjadi, maka disebut zina. Dengan demikian saya menyimpulkan bahwa menikah dilakukan untuk menghindari zina.

Dalam menanggapi pernikahan, biasanya calon pengantin pria banyak yang merasa memiliki beban tersendiri, terlebih di daerah yang mengedepankan budaya bahwa pernihakan harus dirayakan semeriah mungkin, bukan hanya akad dan resepsi saja, tetapi juga menampilkan berbagai jenis hiburan, mulai dari dangdutan, qasidah, gambus, film layar lebar, hingga tari-tarian tradisional lainnya. Tidak berhenti di situ, peseta pernikahan juga harus elegan, tidak hanya dengan dalam kontek busana, tetapi juga ornamen alias tata rias diri dan tempat resepsi.

Pernihakan harus dikabarkan agar khalayak tahu bahwa seorang pria dan wanita saat itu sudah sah sebagai suami istri dan boleh melakukan apapun yang berkaitan dengan kehidupan suami istri.

Dengan prinsip itu, ada yang beranggapan, pernikahan harus dilaksanakan semeriah mungkin hingga tidak sedikit pria yang takut atau belum mau melangsungkan pernikahan, hanya karena belum memiliki biaya selama prosesnya.

Saya cerita sedikit. Dua tahun lalu, seorang teman mengungkapkan isi hati, alias curhat (mencurahkan isi hati) kepada saya. Dia bilang, “Usia saya sudah 27 tahun dan sudah memiliki calon pasangan hidup. Namun, rasanya kami tidak bisa melanjutkannya ke jenjang pernikahan, karena saya belum punya duit banyak,” kata teman, sebut saja Laban (bukan nama sebenarnya).

Saya tanya, apa yang membuatmu berpikir seperti itu? Laban kemudian menjawab. “Orangtua pacar (calon istri) meminta biaya pernikahan yang sangat sulit saya penuhi, yaitu Rp 24 juta. Sedangkan saya punya uang Rp 5 juta dan itu pun bersamaan dengan untuk mas kawin. Padahal kami saling mencintai,” katanya.

Tapi selang beberapa bulan, akhirnya mereka menikah juga setelah orangtua perempuan menurunkan harga tawar biaya pernikahan hingga sesuai dengan kemampuan Laban. Ini juga setelah anaknya diketahui sudah telat datang bulan.

Contoh di atas sesungguhnya mungkin banyak terjadi. Bahkan tidak sedikit juga yang belum menikah padahal berusia lebih dari 30 tahun, hanya karena belum punya uang banyak dan karena masih menganggur.

Padahal, kalau melihat rukun menikah sangat sederhana. Hanya perlu pasangan laki-laki dan perempuan, wali nikah, saksi dan mas kawin. Jika itu ada, sesungguhnya pernikahan sudah sah dilakukan.

Akad nikah dan resepsi pernikahan idealnya dilakukan secara meriah, dengan menyajikan pesta besar, apabila keduabelah pihak mampu dan ikhlas. Akan tetapi jika dipaksakan, hingga ada kabar bahwa suami istri yang baru menikah harus kerja banting tulang hanya untuk membayar utang sisa pesta pernikahan mereka. Mereka yang seharusnya fokus menikmati awal pernikahan dengan berbulan madu, menjadi pecah konsentrasi karena harus juga memikirkan pembayaran utang.

Terkait pernikahan, saya sungguh laki-laki yang sangat beruntung. Keberuntungan ini hadir, karena memang kami yang menciptakan dan bukan datang dengan sendirinya. Kalau boleh saya bercerita tentag proses pernikahan kami.

Sekitar tahun 2004, saya dengan istri bertemu dalam suatu forum diskusi. Ketika itu, satu sama lain kami tidak begitu menunjukkan rasa suka. Setahun kemudian, pertemuan dalam suasana serupa terjadi, dan saat itu, saya memang menaruh rasa suka kepadanya. Namun itu berlalu begitu saja, karena pertemuan kami berlangsung singkat.

Begitu lama tak bertemu, bahkan kami saling kehilangan jejak. Entah ada angin apa, pada awal tahun 2006, istri saya ketika itu mengirim pesan singkat via ponselnya. Entah dari mana ia dapat nomor telepon saya, dan akhirnya komunikasi kita aktif.

Setelah beberapa pekan berkomunikasi via ponsel, saya coba arahkan ke pembicaraan lebih serius (pernikahan), karena usia saya ketika itu (tahun 2006) sudah 25 tahun dan dia 19 tahun.

Selama menjalin hubungan kasih, hingga menikah pada 9 Juli 2006 atau tepatnya Final Piala Dunia, yang ketika itu Italia juaranya, saya dan istri belum pernah punya kesempatan jalan bareng, karena jarak rumah kami cukup jauh, yaitu hingga sekitar 80 kilometer dan komunikasi kami lebih banyak dilakukan via telepon.

Ketika pertama mengajak menikah, modal saya hanya satu, yaitu keberanian dan yakin pernikahan terjadi. Saat itu, sama sekali saya tidak punya uang pribadi, karena hanya sebagai pekerja sedikit waktu sebagai pembantu di sebuah rentalan komputer.

Ketika istri mengatakan, “Apakah kamu serius.” Saya jawab, sangat serius. Kata istri, “Kalau begitu cepat lamar saya.” Kemudian saya tegaskan kepadanya, bahwa saya tidak bisa menikahinya saat itu, karena masih miskin. Tunggu saya hingga kaya dahulu, kalau kamu ingin pernikahan kita dipestakan secara meriah, dan sampaikan hal ini kepada keluarga mu. Istri kemudian mengatakan, “Baiklah akan saya sampaikan,” katanya.

Tak lama berselang, istri kemudian menghubungi lagi. “Tidak perlu menunggu kaya hanya untuk menikah, karena kaya akan kita dapati setelah menikah nanti,” katanya.

Saya sungguh terkejut dengan perkataan itu, dan saya semakin percaya diri. Sehingga ketika ibu saya bertanya, apa benar saya siap menikah dan punya uangnya, saya katakan sangat siap. Ini dikatakan ibu, karena memang kami bukan dari keluarga berpunya. Ibu hanya seorang pedagang kueh basah yang berkeliling ke sejumlah pasar.

Setelah itu kami bicarakan tentang mas kawin. “Mas kawin seperti apa yang kamu inginkan.” Istri kemudian menjawab, “Kalau bisa emas,” katanya. Saya bilang, kalau begitu, pernikahan kita tunda dulu sampai saya dapat kerja layak dan mampu membeli emas untuk pernikahan kita.

“Baiklah, emas akan kita dapatkan setelah menikah,” kata istriku. “Kalau begitu saya minta tabungan di Bank Muamalat Syar’i. Jumlah isi tabungannya Rp 29.486,” kata istri saya.

Saya kemudian tanya, kok cuma segitu? Dia bilang, itu adalah total jumlah dari penggabungan tahun kelahiran kita. “Ini juga agar semuanya memaklumi. Sebab, kalau hanya berupa uang, mas kawin segitu, saya khawatir kamu malu. Tapi kalau degan tabungan dan jumlahnya adalah gabungan tahun kelahiran kita, saya kira hal itu juga dilakukan banyak orang kaya,” istri saya menjelaskan.

Saya kemudian mencari tahu, dan akhirnya tabungan dengan nilai sekecil itu bisa terpenuhi dengan mudah. Ketika menikah pada 9 Juli 2006. Sang naib (penghulu) sempat terheran dan meminta persetujuan yang hadir ketika itu, apakah mas kawin menggunakan tabungan sah atau tidak. Istri saya kemudian mengatakan, “Nikahkan kami, karena mas kawin berupa tabungan Rp 29.468 itu adalah permintaan saya.” Saya sungguh bangga dan merasa tidak salah mempersunting istri.

Akhirnya tidak lama setelah menikah, saya menerima tawaran kerja sebagai wartawan hingga sekarang. Alhamdulillah, pada usia pernikahan 3 tahun, kami sudah diberi rezeki berupa dua anak, yakni perempuan dan laki-laki. Apa yang disampaikan istri sebelum kami menikah, saat ini sudah tercapai. Dalam usia perkawinan hampir 5 tahun, kami sudah memiliki segala kebutuhan keluarga (tercukupi), dan yang lebih penting, saya sudah menghadiahkan mas murni kepada istri seberat 9 gram, dan istri sekarang sedang melanjutkan studi di sebuah perguruan tinggi, dan tengah bersiap menyusun skripsi. Alhamdulillah.

Saya yakin, sebagian banyak dari Anda juga mengalami keberuntungan seperti saya saat menikah, bahkan mungkin lebih mampu menciptakan keberuntungan itu dari saya. Dan bagi Anda yang belum berani menikah, tunjukan bahwa Anda adalah pemberani.

Hanya butuh komunikasi efektif dan kesungguhan dari calon pasangan untuk meyakinkan pihak yang menghalang-halangi pernikahan Anda hanya karena factor budaya.


Mudah-mudahan ini menjadi salah satu inspirasi untuk menguatkan keyakinan bahwa menikah sesuatu hal yang harus dilakukan dengan penuh sadar di antara kedua belah pihak, karena menikah adalah ibadah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar